Terowongan Neyama Romusha
Sebuah terowongan, dikerjakan ribuan romusha, dibangun untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
PADA 17 November
1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di
Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian.
Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh
penduduk setempat disebut “campur darat.”
Untuk mengatasinya, pemerintah
Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah
perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke
Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga
tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan
makanan tentaranya di medan perang.
Menurut sejarawan Universitas Keio
Jepang, Aiko Kurasawa, pemrakarsa pembangunan terowongan tersebut adalah
Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang dan pernah menjabat
kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan.
Pembangunan dimulai pada Februari 1943.
Sebagai pelaksana proyek, sebuah
koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung
jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan. Proyek
terowongan ini membutuhkan 20 ribu romusha dengan dana f.750 ribu; sebanyak f.300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya pemerintah militer.
“Karena tidak ada buldoser dan jarang
terdapat dinamit, seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia,”
tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Beberapa bulan pertama pekerjaan
berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10 ribu romusha per
hari. Mereka mengeruk tanah dengan alat sederhana yang dibawa dari desa
masing-masing. Setiap romusha mendapat upah sebesar f.0.14 per hari, sudah dipotong pajak dan makanan. Sedangkan mandor menerima upah f.0.38, sudah dipotong pajak.
Shigaru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants
menerangkan, untuk mengerjakan terowongan itu, dibuatlah saluran
terbuka dengan meratakan punggung bukit. Batu-batu kapur di dasar
punggung bukit harus dihancurkan namun tak tersedia cukup bubuk peledak.
Permintaan bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta
ditolak. Bantuan datang dari kepala Departemen Industri, Tennichi
Koichi. Dia berminat pada proyek terowongan itu yang dia anggap memiliki
potensi meningkatkan produksi pertanian.
“Atas persetujuan atasannya, Yamamoto
Moichiro, Tennichi setuju mengalihkan beberapa bubuk peledak yang telah
disisihkan dari program pertambangan batu bara di Bayah (Banten
Selatan),” tulis Sato.
Sebelum meledakkan bukit, staf Residen
Kediri menerima informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya
menjadi landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda; dan
ketika Belanda mundur mereka membenamkan beberapa bom. Ketika melakukan
penyisiran, ditemukan 23 bom. Sebuah dealer bahan peledak milik seorang Tionghoa mengambil 10-20 ton bubuk peledak kuning dari bom-bom itu.
Selain menggunakan peledak, karesidenan
juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd.
Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim seorang kapten
Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam
pembangunan terowongan. Pembangunan terowongan pun dimulai pada Oktober
1943.
“Residen Kihara antusias. Dia sering
bekerja di lokasi konstruksi, menggunakan bor dan mengatur dinamit
sendiri. Sampai pada satu kesempatan dia keracunan gas yang dihasilkan
oleh ledakan di dalam terowongan dan harus dibawa keluar dari
terowongan,” tulis Sato.
Pembangunan menghadapi kendala. Masalah
dana bisa diatasi tapi mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang.
Selain karena berlokasi di daerah tertutup rawa dan hutan penuh binatang
buas, bahkan diyakini banyak hantu dan roh jahat, dan malaria merebak.
Penduduk juga mendapatkan kabar bahwa pekerjaan itu sangat berat.
Beberapa romusha tinggal tulang terbungkus kulit. Banyak yang sakit,
bahkan meninggal dunia.
Pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan dan diberi kuota untuk merekrut romusha.
Untuk memenuhi kuota itu, mereka melakukan “bujukan” yang bersifat
memaksa. Seorang kepada desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500
orang dari desanya.
Target awal pembangunan terowongan
rampung awal Juni tapi meleset jadi Juli 1944. Terowongan itu, yang
dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan
Nishida, penterjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri, menjadi Neyama:
ne artinya akar dan yama berarti gunung. “Di antara penduduk lokal dan para buruh yang dimobilisasi membangun terowongan itu menyebutnya Neyama romusha,” tulis Sato.
Terowongan Neyama, tulis Aiko Kurasawa,
membuat petani di wilayah tetangganya terbebas dari banjir. Tapi
terowongan itu membawa akibat yang tak diperhitungkan sebelumnya.
Nganjuk, wilayah Kediri utara, kekurangan air.
Terowongan tersebut masih bekerja baik
hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia. Kerusakan perlahan menghampiri
antara lain oleh banjir bandang pada 1955. Empat tahun kemudian,
terowongan dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum
Sungai Brantas dengan biaya dari dana pampasan perang Jepang sebesar
US$1.972.000. Proyek ini digarap dua perusahaan konstruksi Jepang,
Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, di bawah pengawasan Departemen
Pekerjaan Umum. Pekerjaan selesai pada April 1961.
Karena Terowongan Neyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Neyama II yang diresmikan pada 1986.
Neyama kini menjadi objek wisata karena
pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melewati gunung.
Namun, di balik keindahan itu, ratusan bahkan mungkin ribuan romusha
menjadi korbannya.Sumber : http://historia.co.id/artikel/2/1005/Majalah-Historia/Terowongan_Neyama_Romushanbsp;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar